Solusi Untuk Indonesia

Gua sebagai silent reader, lama-lama pengen nulis juga.

Indonesia sedang diuji, iya gua sadar negara ini sudah tua, sudah 71 tapi ujiannya kayak anak remaja, oke gak apa mungkin Indonesia sedang masa puber kedua. Indonesia yang terkenal dengan keragamannya, kemajemukannya kerap menjadi contoh bahkan kebanggaan bagi negara lain, organisasi lain untuk saling menghormati dan toleransinya, sekarang sedang diuji.

Menyatukan Indonesia itu tidak pernah mudah, bahkan dimulai dari jaman kerajaan dulu, mulai kerajaan Majapahit yang berakhir dengan perang saudara, kerajaan-kerajaan lain hampir serupa, setelah raja yang dihormati wafat rerata hancur perlahan-lahan. Pada masa pendudukan bangsa lainpun begitu, gerakan dari sekumpulan kaum intelek yang Belanda kuliahkan, ditambah dengan golongan-golongan yang resah atas ketidakadilan pendudukan Belanda, maka Jepang yang saat itu tengah mengambil kekuasaan dari Belanda dipaksa oleh bangsa ini mundur, dan membiarkan Indonesia menjadi Indonesia.

Setelah jaman kemerdekaan pun bukan berarti perjuangan menyatukan Indonesia ini selesai, Soekarno jatuh dari kekuasaannya dalam proses penyatuan warga Indonesia. Indonesia pada saat itu dikotakan menjadi 3 golongan Nasionalis, Agamis, dan Komunis. Soekarno saat itu ditenggarai agak memihak dengan pihak komunis maka kaum nasionalis yang digerakan oleh militer berhasil mengambil alih kekuasaan Indonesia.

Setelah itu pun sebagai yang dihormati dikalangan militer, Soeharto mampu menjaga kedamaian, ya setidaknya untuk kebanyakan rakyat Indonesia, atau mungkin sengaja ditutup matanya agar hanya bisa melihat yang damai-damai saja. Kaum-kaum yang tidak terima dibungkam dengan alasan “menjaga kedamaian” tersebut merasa gerah atas ruang gerak yang semakin mencekik. Kaum intelektual dan muda memprakarsai penumbangan rezim ini.

Beberapa tahun terakhir dengan sistem demokrasi yang sudah sejak dulu kita anut tapi baru kita impelementasikannya, Indonesia cenderung mampu menjaga tensi dan keadilan yang manusiawi. Ya, keadilan yang terkadang masing-masing dari kita pernah merasa tidak adil, bukankah itu cukup adil?

Hingga akhirnya  kita merasa terganggu dengan issue yang fundamental, ya namun memang sensitif. Mungkin saat tulisan ini dibuat, gua belum mempunyai kapasitas yang cukup baik dalam hal ini, agama, maka dari itu gua gak ngambil pandangan dari situ.

Sebenarnya sebagian kecil (kecil atau besar saya kurang tahu) dari kita sebelumnya pernah jengah terhadap issue sosial media yang semakin seperti televisi, terlalu entertaining. Ya terlalu menghibur sehingga lupa dampak hiburan yang mereka sajikan itu akan seperti apa. Gua gak akan terlalu menyalahkan pelaku pembuat konten di sosial media, ya karena mungkin memang cara-cara itulah yang mereka inginkan, hal itulah yang selama ini dia resahkan, dan butuh suatu media yang masif untuk menyampaikannya, mungkin.

Ya karena sebagian besar karya manusia itu merupakan keresahan manusia tersebut.

Tapi sebagai pengguna internet yang baik, dan terlebih sebagai manusia yang berpengetahuan yang baik, seharusnya kita sama-sama bisa mencegah agar hal ini tidak menjadi hits, menjadi viral, menjadi booming sehingga masyarakat luas tahu.

Kalian tahu di Lativi dulu ada komedi tengah malam? yang semua wanita berpakaian amat seksi, yang dapat menaikkan gairah seksual, khususnya kaum lelaki. Kebanyakan mungkin tahu dan sedang senyum-senyum sendiri. Mengapa pada saat itu tidak menjadi perbincangan khalayak ramai? Ya karena anak SD hanya berbincang dengan teman sebayanya, pekerja kantoran membincangkan dengan teman kantornya, ibu rumah tangga menggosip dengan tetangganya. Bahkan itupun hanya pada teman yang memang dekat, atau tetangga yang memang sudah akrab, tidak lebih.

Tapi kini masing-masing dari kami memiliki mimbar beserta pengeras suara sendiri-sendiri. Kami mempunyai kanvas putih yang jumlahnya tidak terbatas yang pasti akan masuk galeri yang bernama instagram. Memiliki kertas kosong yang dengan mudahnya akan dicetak tanpa batas di percetakan facebook (ini mungkin agak menyalahi functional, tapi ya sudahlah). Masing-masing dari kita memiliki kolom opini di surat kabar twitter.

Pernahkah kalian memikirkan sebelum membuat konten di media sosial, pantaskah anda mengatakan hal yang pernah anda katakan di media sosial pada khalayak umum, yang beragam suku agama ras pendidikan usia tempat tinggal yang memang siap mendengarkan anda dan menggunakan pengeras suara? Sebagai seorang yang bertanggungjawab seharusnya berani.

Ya, sebaiknya bahasan yang memang sewajarnya tidak untuk dicetak menjadi buku, tidak cukup baik dipajang di galeri kesenian umum, opini yang tidak pantas berada di surat kabar, janganlah kalian produksi beramai-ramai sehingga menjadi bacaan, tontonan dan konsumsi oleh kaum yang memang belum waktunya dijejali dengan bahasan tersebut.

Pada saat Lativi dengan komedi tengah malamnya, saya tidak pernah mendengar seorang anak SD membahas hal itu dengan bapaknya, atau seorang ustadz memperbincangkan hal itu pada para pekerja kantoran. Ya karena memang tidak akan pernah terjadi, kami tahu batasan-batasan pembahasan apa yang akan kami bawa untuk orang yang akan kami hadapi.

Masih banyak cara komunikasi yang baik, jika kalian memang sudah sama-sama malas untuk saling bertatapan muka, marilah kita gunakan messager di hp kita, group discussion di media sosial, atau media atau ruang yang lebih tertutup dan dapat mengontrol konsumen dari bahasan yang ingin kita sajikan.

Apabila kalian ingin menyampaikan pembahasan yang sedikit sakral, ada baiknya saling tahu sama tahu secara personal, paling tidak pernah bertatap muka dan berbincang dengan baik belasan kali. Atau memang anda “benar-benar” cukup disegani dan berpengaruh dilingkungan tersebut.

Ada 2 hal yang gua rindu saat gua tulis tulisan ini, yang pertama ketika internet terbatas penggunanya dan sosial media ada batasan minimal umur (ya dulu friendster ada, atau sekarang masih ada? saya kurang tahu). Hal kedua adalah saat hp saya rusak.

Terkadang kesalahan kita untuk menyampaikan kebenaran, kita tidak tahu apa yang sedang kita coba takluki

Leave a comment